Banjarbaru, 10 November 2025 – Di tengah euforia para elit politik pada COP 30 di Belem, Brazil saat ini bumi, khususnya Kalimantan Selatan kini terperosok di pusaran krisis ekologis yang mendalam, bukan karena takdir, melainkan karena pilihan kebijakan yang keliru. Fenomena hidrometeorologi seperti banjir besar, yang melumpuhkan sebagian besar wilayah dan menimbulkan kerugian finansial yang mencapai puluhan miliar rupiah per tahun, sudah menjadi siklus penderitaan yang berulang bagi rakyat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan menegaskan bahwa bencana yang terus terjadi ini adalah wajah nyata dari kegagalan sistem. Akar persoalan krisis iklim di Kalsel sangat jelas: sistem ekonomi pertumbuhan telah melegitimasi eksploitasi besar-besaran, membuat lebih dari 50% wilayah provinsi ini disandera oleh izin industri ekstraktif terutama tambang batu bara dan perkebunan sawit skala besar.
“Krisis lingkungan sudah menjadi urgensi dalam pembangunan di Kalsel, tetapi Pemerintah terkesan lambat menanggulanginya dan bahkan cenderung memperparah potensi kerusakan,” ungkap Direktur Eksekutif WALHI Kalsel, Raden Rafiq S.F.W.
“Alih-alih memulihkan, negara malah membiarkan pelepasan kawasan hutan secara besar-besaran untuk korporasi. Ini jelas bertentangan dengan upaya pemulihan dan pelestarian alam” tambahnya.
Menghadapi konferensi para elite yang penuh solusi palsu atas krisis iklim (COP) ke-30 di Belem, Brazil, WALHI menyerukan negara-negara untuk “Kembali ke Rakyat, Kembali ke Akar”. Karena rakyat dan alam selama ini hanya ditempatkan sebagai objek di ruang-ruang negosiasi global. Rakyat menolak solusi iklim palsu yang sering disuarakan di meja perundingan, seperti perdagangan karbon, model transisi energi yang berbasis bisnis, dan penggunaan istilah fosil phase-down yang hanya mengulur waktu bagi perusak bumi.
COP (Conference of the Parties) adalah konferensi tahunan yang diselenggarakan di bawah naungan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. COP menjadi forum global tertinggi bagi negara-negara untuk membahas, menegosiasikan, dan menetapkan kebijakan bersama dalam menghadapi krisis iklim.
COP pertama kali digelar pada tahun 1995 di Berlin, Jerman, menandai awal koordinasi global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Sejak saat itu, COP menjadi ajang utama bagi negara maju dan berkembang untuk menyampaikan komitmen iklim, walaupun sering kali diwarnai ketegangan politik dan kepentingan ekonomi.
Sejarah dan Perkembangan COP Terdahulu
1. COP 1 – Berlin (1995)
Menetapkan Berlin Mandate sebagai dasar perundingan untuk penurunan emisi negara maju.
2. COP 3 – Kyoto, Jepang (1997)
Melahirkan Protokol Kyoto, kesepakatan pertama yang secara hukum mengikat negara maju menurunkan emisi karbon.
3. COP 15 – Kopenhagen, Denmark (2009)
Diharapkan menghasilkan kesepakatan global baru, tetapi gagal karena perbedaan tajam antara negara kaya dan miskin.
4. COP 21 – Paris, Prancis (2015)
Melahirkan Perjanjian Paris, di mana seluruh negara berkomitmen menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C dan berupaya menuju 1,5°C. Ini menjadi tonggak penting diplomasi iklim modern.
5. COP 26 – Glasgow, Skotlandia (2021)
Menjadi ajang pembahasan “penghapusan bertahap batu bara” dan penguatan pendanaan iklim, meski hasilnya masih lemah secara hukum.
6. COP 28 – Dubai, Uni Emirat Arab (2023)
Untuk pertama kalinya menyebut perlunya “transisi meninggalkan bahan bakar fosil”, tetapi tanpa target wajib, menimbulkan kritik karena dipandang simbolis semata.
Jalan keluar dari krisis ini sudah ada, dan ia berada di tangan rakyat. Rakyat khususnya masyarakat adat, petani, dan nelayan adalah solusi sejati. Fakta menunjukkan bahwa 70% hutan terbaik saat ini berada di wilayah kelola rakyat.
Oleh karena itu, WALHI Kalsel mendesak Delegasi Republik Indonesia di COP 30 untuk menghentikan segala bentuk solusi palsu, dan sebaliknya, menjadikan rekognisi dan melindungi hak, pengetahuan serta praktik tradisional rakyat sebagai jalan utama mengatasi krisis iklim. Keselamatan rakyat, termasuk penyelamatan Pegunungan Meratus dan kawasan pesisir Kalsel dan dalam lingkup yang lebih luas: alam Indonesia, harus menjadi prioritas tertinggi di atas kepentingan korporasi.
#KembaliKeRakyat #KembaliKeAkar #RootsUp #PeoplePower
Narahubung: pewalhikalsel@proton.me
