JAKARTA – Dampak buruk yang masif dirasakan masyarakat sekitar wilayah pertambangan dan pembangkit listrik tenaga batu bara di Sumatera menjadi alasan kuat bagi warga untuk menuntut pemerintah membatalkan implementasi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Saat bersaksi untuk Sidang Rakyat hari Minggu (31/5/2020), masyarakat di seluruh Pulau Sumatera menyatakan siap melakukan segala cara demi membatalkan implementasi UU Minerba 2020. Masyarakat tersebut berasal dari Sumatera, perwakilan Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, berkembangnya industri batu bara dan pembangkit listrik di Pulau Andalas ini justru memperburuk kondisi perekonomian masyarakat sekitar yang mayoritas petani dan nelayan. Ekspansi industri batu bara dan pembangkit listrik tenaga batu bara bahkan menyebabkan masyarakat jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Hal ini karena limbah dan polusi yang dihasilkan oleh industri batu bara terintegrasi ini menyebabkan lahan pertanian rusak, air sungai dan air laut tercemar, sehingga masyarakat sekitar kesulitan untuk mencari nafkah.
Masykur, Anggota Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih wilayah Aceh, mengatakan, ketika melaut, nelayan lebih banyak menjaring limbah batu bara ketimbang ikan. Hal yang sama dialami para nelayan di Pangkalan Susu, Sumatera Utara.
“Sebelum ada PLTU di sana, saya bisa dapat Rp2,8 juta per minggu (dari hasil tangkapan). Tetapi saat ini, untuk (men)dapat(kan) Rp50 ribu saja sulit karena air laut sudah tercemar,” ujar salah satu nelayan di Sei Siur, Kecamatan Pangkalan Susu.
Bahkan, lantaran pencemaran tersebut, ada yang terpaksa banting setir menjadi petani. Namun nahas, limbah dan polusi yang ditimbulkan oleh industri batu bara membuat tanah tak lagi subur sehingga hasil pertanian pun tidak maksimal.
Pemiskinan
akibat eksploitasi pertambangan batu bara juga dilakukan dalam bentuk
penggusuran paksa dan tidak manusiawi di atas lahan masyarakat. Menurut
kesaksian Hamidin, warga Kelurahan Teluk Sepang, pemodal-pemodal tambang kerap
kali melakukan penggusuran pada malam hari. “Tahu-tahu besok paginya
(pohon) sawit mereka (warga) sudah tumbang semua,” kata dia.
Hal ini diperparah dengan tidak ada negosiasi antara perusahaan dan masyarakat pemilik lahan, sehingga besaran ganti rugi diputuskan secara sepihak. Kesewenang-wenangan para investor ini bukannya tidak mendapat perlawanan warga—yang sudah berupaya melakukan protes agar hak-hak mereka yang wilayahnya dirusak dipenuhi.
Misalnya, janji untuk membenahi jalur irigasi yang rusak akibat limbah, memperbaiki akses jalan masyarakat yang hancur karena digunakan untuk rute transportasi perusahaan tambang, melakukan reklamasi, ganti rugi dengan nilai wajar, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan lapangan pekerjaan. Namun, upaya masyarakat sia-sia.
Mereka sangat khawatir jika UU Minerba ini diimplementasikan, dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang terjadi akan semakin parah. Karena itulah, bagi mereka, tidak ada jalan lain selain menolak dan melakukan segala cara untuk membatalkan UU Minerba 2020.
“Kami melihat pasal-pasal kontroversi pada UU Minerba bisa diuji materil ke MK (Mahkamah Konstitusi) dengan mempertimbangkan kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945”
Sumiati
Anggota Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih wilayah Sumatera Utara
“Investasi sektor pertambangan mana yang mensejahterakan rakyat. Yang ada investasi (justru) menghancurkan ekonomi mandiri masyarakat, seperti yang dialami oleh petani dan nelayan. Lahan sawah warga mati dengan sendirinya (setelah ada pembangunan PLTU), hasil dari sungai sudah tidak ada lagi, nelayan ketika menjaring itu bukan ikan yang didapat, tetapi batu bara”
Masykur
Solidaritas Masyarakat Aceh yang juga anggota Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih
“Petani sawit di sini sangat dirugikan dengan pengembangan PLTU, lahan mereka digusur secara tidak manusiawi karena penggusuran dilakukan pada malam hari. Setelah digusur diberi ganti rugi yang tidak sesuai dengan kehendak masyarakat”
Hamidin
Pejuang Lingkungan Bengkulu
“Dengan adanya UU Minerba ini kami merasa tidak ada keberpihakan pemerintah kepada kami. Lubang tambang dibiarkan, akses jalan kami petani dirusak, sawah kami dirusak, pemukiman rusak. Pengaduan kami kepada pemerintah tidak dihiraukan. Saat warga dirumahkan karena COVID-19, DPR malah sidang. Padahal DPR yang duduk senang – senang di kursi itu uangnya dari rakyat. Tidak mereka pikirkan rakyat makan apa. Manusiawi kah itu?”
Yusmanilu
Kepala Desa Pondok Bakil, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu
“Pertambangan menghancurkan ekonomi masyarakat petani, polusi udara, pencemaran lingkungan, tanaman pangan mati, pemerintah memberikan karpet merah melalui regulasi kepada favoritnya (pengusaha tambang), kami khawatir ini merusak identitas daerah kami yakni Bukit Selero”
Sahwan
Pejuang Tolak PLTU Keban Agung, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan
“UU Minerba yang disahkan di DPR RI tidak mewakilkan rakyat sama sekali tapi berpihak pada oligarki. Udara di Muara Enim sudah sangat tidak sehat, debu dimana – mana, penglihatan sangat terbatas. Situs vital seperti Sungai Musi semakin hari semakin cokelat, juga perumahan warga bergoyang. Kapal tongkang sendiri, setiap tahun menabrak tiang dari jembatan Ampera, itu situs vital yang dimiliki oleh Palembang itu sendiri. Kita tanyakan hari ini sudahkan indonesia merdeka?”
Muadz Aminudin
BEM KBM Universitas Sriwijaya
“Kami menolak tegas RUU yang telah disahkan pada 12 Mei 2020. UU yang disahkan di tengah covid-19 sesingkat – singkatnya, tidak ada uji publik, tidak melibatkan masyarakat, dan tidak melibatkan DPD RI, sesuai pasal 249 UU No 17 tahun 2014 tentang wewenang MPR, DPR, DPD. Tapi pemerintah seolah menutup mata. Landasan Pancasila dan UUD 1945 untuk UU Minerba itu adalah omong kosong belaka. Tidak ada kemakmuran untuk rakyat, Tetapi investor tambang!”
Intan Putri Dinanti
BEM KBM Mahasiswa Universitas Dharma Andalas
“Dalam UU Minerba ini terdapat persoalan moralitas hukum konstitusional. Secara substantif maupun procedural sudah sangat cacat. Tidak ada pembahasan sama sekali. Tidak sesuai kriteria. Pengesahan Undang-Undang Minerba menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada keterbukaan selama perancangan, bertentangan dengan asas pembentukan perundang – undangan. Ketiadaan peran DPD ini mencederai, tidak sesuai amanat konstitusi. Bahwa DPD itu berhak untuk terlibat membahas otonomi daerah. Wakil rakyat menciderai martabat dan marwah serta mengabaikan putusan MK tentang ini. Kami tidak akan mengkhianati tuannya, kami mahasiswa dibantu oleh rakyat, bahwa kami mahasiswa akan terus berjuang. Ingat! Sejarah negara dibangun oleh pemuda. Seperti kita ketahui rezim zalim akan tumbang. Kami menolak UU Minerba karena mendewakan manusia sebagai pusat alam semesta.”
Riki Pratama Saputra
Mahasiswa Hukum Pecinta Alam Universitas Bengkulu
“Membuat Undang- undang itu harus juga memperhatikan landasan filosofis dan sosiologisnya. Apakah memberikan dampak yang lebih baik pada masyarakat, harus berprinsip kemandirian, berwawasan lingkungan, memperhatikan kesejahteraan, berdimensi HAM. Norma Undang – undang berlaku umum kepada siapa saja, perseorangan, operasi, swasta, BUMD, kesempatan yang sama dalam usaha pertambangan. Harusnya semua keputusan ada pada negara, selalu menempatkan negara berdaulat disitu. Sudah saatnya kita tegakkan kedaulatan pengelolaan Sumber Daya Alam”
Edra Satmaidi
Dosen Hukum Universitas Bengkulu
“Pembentukan Undang – Undang belakangan ini betul – betul memanfaatkan situasi. KPK Dilemahkan melalui Undang – Undang. Lalu Omnibus Law Cipta Kerja dibahas, ketika ditolak publik, dimajukanlah agenda pengesahan UU Minerba. Seolah UU Minerba ini pengalihan untuk membahas UU kontroversial lainnya. Disini memperlihatkan kehadiran Presiden tidak berada sebagai pemimpin utama, sentral kuasa, sebagai kekuatan utama dalam sistem presidensial”
Feri Amsari
Dosen Hukum Universitas Andalas – Sumatera Barat
Narahubung:
Wendra Rona Putra (LBH Padang): 081267410008
Margaretha Quina: 081287991747