Oleh: Fathur Roziqin Fen[1]
Aruh Adat bagi Masyarakat Adat Meratus merupakan ritual suci bagi penganut aliran kepercayaan. Bertujuan meminta keselamatan, rezeki hingga kesehatan.Tak hanya itu, ritual ini juga memiliki kebaikan dalam hubungan antar manusia dengan Tuhan serta antar manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Kerap juga digelar sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang didapat, biasanya Aruh Adat dilakukan setelah musim panen.[2]
Meratus adalah gugusan/bentang pegunungan yang berada di wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan. Membentang dari Kabupaten Tanah Laut, melewati 8 kabupaten lainnya hingga perbatasan Kalimantan Timur. Bagi masyarakat yang tinggal di pegunungan tersebut dikenal dengan Dayak Meratus. Nyaris tidak ada lagi aliran sungai yang masih alami selain sungai-sungai yang hulunya dari pegunungan Meratus. Ini asset untuk seluruh masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada aliran sungai.
Sebagian besar kawasan Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan sudah banyak mengalami deforestrasi, pengurangan hutan. Selain bertambahnya populasi manusia, juga banyaknya pertambangan yang menyebabkan hilangnya akses terhadap ruang hidup. Di Kalimantan Selatan, hanya tersisa satu kabupaten yang masih bertahan dengan kerusakan lingkungan dari pertambangan. Kabupaten Hulu Sungai Tengah masih memiliki kawasan hutan hujan tropis asri dengan keanekaragaman hayatinya.
Kini Meratus, dalam 3 tahun terakhir bukan semata ritual aliran kepercayaan bagi warga Dayak Meratus di Kabupten Hulu Sungai Tengah, kabupaten yang satu-satunya daerah yang tak terdapat perizinan pertambangan maupun perkebunan sawit. Kata Meratus sangat populer di belantika jagad maya, selalu disandingkan dengan isu lingkungan hidup dan konflik sumber daya alam lainnya di Kalimantan Selatan. Mulai dari kelompok mahasiswa, pecinta alam, Ormas keagamaan, tokoh adat, pemerintah daerah hingga menjadi topik dalam tabliq akbar.
Penyelamatan Meratus kian menguat, sejak 28 Februari 2018, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Kalimantan Selatan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) soal izin pertambangan PT Mantimin Coal Mining (MCM) atas SK Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang penyesuaian tahap kegiatan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara PT MCM jadi tahap operasi produksi. SK yang keluar 4 Desember 2017 mencakup tiga kabupaten, yakni Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Balangan dan Tabalong. Luasan izin tambang batubara itu seluas 1.398,78 hektar merupakan hutan sekunder, pemukiman 51,60 hektar, sawah 147,40 hektar, dan sungai 63,12 hektar. Ia berada di hamparan Pegunungan Meratus. Di Kalimantan Selatan sendiri, PT MCM menguasai lahan seluas 5.900 hektar.[3]
Situasi kerentanan ekosistem Kalimantan Selatan akibat tambang batubara sangat berisiko tinggi. Catatan WALHI Kalsel – hingga tahun 2018 – setidaknya 814 lubang tambang milik 157 perusahaan tambang batubara. Sebagian lubang berstatus tambang aktif, dan sebagian lagi telah ditinggalkan tanpa reklamasi. Lebih berisiko adalah konsesi PT MCM di Hulu Sungai Tengah berada tak jauh dari Bendung Batang Alai, yang masuk dalam proyek strategis nasional terkait ketahanan pangan.
Majelis Hakim PTUN Jakarta Timur memutuskan gugatan WALHI Kalimantan Selatan kepada Menteri ESDM soal izin pertambangan PT MCM, tak dapat diterima, atau Niet Ontvankelijke verklaard (NO). Putusan tak dapat diterima dengan alasan gugatan mengandung cacat formil. Gugatan yang sudah masuk lebih tujuh bulan itupun tak ditindaklanjuti hakim untuk diperiksa dan diadili.
Giat perlawanan bahkan melahirkan fatwa dari alim ulama di Kalimantan Selatan, salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang telah mencetuskan fatwa haram terhadap industri pertambangan batubara yang merusak lingkungan hidup. Fatwa ini pun didukung oleh MUI Provinsi sebagaimana respon serius mereka terhadap keterancaman Meratus.[4] (Apahabar, 2019)
Tak berhenti sampai disitu, kini Meratus menjadi symbol perlawanan terhadap industri ekstraktif, meluasnya pesan kampanye dengan tagar #SaveMeratus dan menguat dengan pesan bahwa “kehidupan manusia tidak lepas dari hubungannya dengan makhluk lainnya baik dengan mahkluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan) maupun makhluk tak hidup (air, udara, tanah, cahaya).”[5] Walaupun demikian, penolakan banding oleh PTUN itu kian membuat Meratus dalam kondisi berbahaya. Ritus Meratus akan terus bermunajat, menentukan nasib masa depan generasinya.
[1] Campaigner at Yayasan PUSAKA Bentala Rakyat
[2] https://banjarmasin.tribunnews.com/2019/06/29/aruh-adat-ritual-suci-masyarakat-adat-dayak-meratus-ini-makna-dan-tujuannya
[3] https://www.mongabay.co.id/2018/10/23/gugatan-walhi-pengadilan-tolak-kasus-tambang-di-meratus-dari-aceh-bkpm-tergugat-soal-izin-produksi-emas/
[4] https://apahabar.com/2019/06/save-meratus-ulama-hst-mantap-haramkan-pertambangan-batu-bara/
[5] Lihat situs www.savemeratus.com; Kampanye penyelamatan Meratus ini dikelola oleh sejumlah komunitas dengan membangun portal yang terbuka untuk mengakomodir dukungan publik, dengan slogan ‘menyelamatkan meratus menyelamatkan kehidupan’.