Oleh: Ach Rozani
(Manajer Tata Ruang Dan GIS Eksekutif Nasional WALHI)
Bencana Hidrometeorologi – Bencana Ekologis
Peristiwa bencana banjir terus meningkat ini tergolong karena adanya perubahan hidrometeorologi. sedangkan walhi menilai ini merupakan bencana ekologis karena merupakan hasil proses perubahan yang sedikit-sedikit (incremental) dan terakumulasi menjadi bencana di waktu tertentu. Banyak ahli sepakat perubahan hidrometeorologi atau bencana ekologis dalam pandangan walhi ini, lebih besar faktornya dipicu oleh kegiatan manusia (antropogenik) yang begitu ekstraktif terhadap lingkungan. maksud manusia di sini yakni adalah masyarakat, baik dia dalam entitas perseorangan, kelompok, korporasi, atau para pemangku kepentingan. Mengutip pesan laporan khusus Intergovermental Panel On Climate Change (IPCC) juga memberikan peringatan bahwa perubahan hidrometeorologi merupakan ancaman mematikan secara global terhadap keselamatan umat manusia di bumi.
Kejadian banjir di 11 kabupaten kota di Kalimantan Selatan pada minggu ke-3 Januari 2021 dan hingga hari ini dampaknya pun masih terasa, BNPB menaksir nilai kerugian dan kerusakaan hampir Rp 1,3 Triliun dan di sisi yang lain tanpa menutup mata adanya korban jiwa atau kerugian non material lainnya yang ini tentu tak dapat dinilai dengan uang. ini sebuah potret fakta bagaimana kita telah menjadi korban dari bencana hidrometeorologi tersebut dan jika menengok data historis kejadian bencana di Provinsi ini, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan karhutla merupakan kejadian bencana hidrometeorologi yang secara frekuensi sering terjadi.
Bencana hidrometeorologi yang terjadi ini tentu sangat sulit untuk dilepaskan dari sebab kondisi kualitas bentang lahan yang berubah karena buruknya kualitas dalam tata kelola ruang dan pembangunan yang abai pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. ini termanifestasi adanya fakta deforestasi, alih fungsi hutan lahan, dan kerusakan lahan serta rusaknya infrastruktur ekologis penting lainnya hingga kejadian bencana itu sendiri dan kejadian bencana ini kelompok rentanlah seperti penduduk miskin dan mereka yang tinggal di daerah rawan bencana yang harus mendapatkan kerugian dan kerusakkan yang lebih berat.
Sehingga dalam merespon ancaman tersebut masyarakat memiliki kemampuan dan peran untuk mengurangi risiko yang ada namun tentu disini peran negara melalui tangan pemerintahlah yang memiliki kemampuan lebih besar dan strategis dalam upaya penanggulangan untuk pengurangan risiko terhadap keadaan ini.
Persoalan Struktural ; OmnibusLaw UU Cipta Kerja Dan Penataan Ruang Kita
Pengesahan undang undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui Omnibus Law pada 2 November 2020 yang diyakini pemerintah sebagai langkah strategis untuk mengatasi berbagai permasalahan investasi dan penciptaan lapangan kerja dari sisi regulasi ini, dalam catatan walhi ada 16 point pokok perubahan baik dalam bentuk penghapusan, penyesuaian, perbaikan dan penambahan di dalam UU Cipta Kerja terhadap UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. sebagai contoh dalam hal perubahan terhadap UU Penataan Ruang dengan adanya penghapusan kawasan strategis provinsi (KSP) yang tidak lagi masuk dalam rencana rinci tata ruang, sehingga ini berdampak pada tidak perlu adanya Rencana Tata Ruang yang berfungsi sebagai bentuk operasionalisasi dari rencana umum tata ruang untuk menjadi acuan, mengembangkan, melestarikan, melindungi, dan mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, terintegrasi dan berkelanjutan. Jika belajar dari kasus Kalimantan Selatan saja misalnya Peraturan Daerah nomor 9 Tahun 2015 tentang RTRW Provinsi Kalimantan Selatan yang telah menetapkan Pegunungan Meratus sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup dan sejak tahun 2019 pemerintah provinsi telah mulai melakukan inisiasi untuk menyusun peraturan daerah KSP Pegunungan Meratus untuk Rencana Tata Ruangnya namun hari ini menjadi tidak dapat di lanjutkan akibat dari disahkannya UU Cipta kerja sehingga sulit tidak menarik kesimpulan dan tidak dimaknai sebagai bentuk pelemahan secara struktural terhadap upaya perlindungan lingkungan demi investasi yang entah untuk siapa karena semakin lemahnya standar pemanfaatan ruang lingkungan yang ada.
Melihat data yang dihimpun Walhi Kalimantan Selatan terkait keadaan pemanfaatan lahan secara umum di Kalimantan Selatan dari sisi perizinan sumber daya ekstraktif tercatat Izin Usaha Pertambangan Minerba 628.708 Hektar Yakni IUP Mineral 81.825 Hektar, IUP Mineral Bukan Logam 33.741 Hektar, IUP Batubara 489.483 Hektar, IUP Batubara Pulau Laut 23.659 Hektar, Izin Usaha kehutanan Seluas 743.078 Hektar yakni IUPHHK-HA 197.167 Hektar, IUPHHK-HTI Luas 539.882 Hektar, dan untuk Izin Perkebunan 811.115 Hektar yakni HGU Luas 503.704 Hektar dan Izin Lokasi Luas 307.411 Hektar. Ketika di lihat lebih dalam pada konteks pegunungan meratus walhi Kalimantan selatan mencatat ada 4.301,78 Hektar lahan terbuka pertambangan dan 10.148,29 Hektar Lahan berupa Perkebunan sedangkan dari sisi perizinan untuk korporasi di pegunungan meratus dalam catatan walhi ada 6.228,36 Hektar Izin HGU, 51.644,80 Hektar Izin Usaha Pertambangan Minerba, dan 95.201,47 Hektar IUPHHK-Hutan Tanaman.
Di tengah pontesi bahaya laten tersebut tentu upaya #SaveMeratus; Menyelematkan Meratus Menyelamatkan Kehidupan yang diyakini publik Kalimantan Selatan harus terus didesakkan dan dapat di tangkap oleh pengambil kebijakkan sebagai landasan sosiologis di tengah situasi adanya fakta kelemahan regulasi yang ada saat ini.
Kemana Dan Bagaimana Untuk Keadilan Ruang kita ke Depan
Membicarakan tentang ruang (Space) tentu tidaklah sesederhana membicarakan tentang tempat (Place) sehingga kita harus berani berefleksi dan jujur mengatakan bahwa kita sadar tata kelola ruang dalam prosesnya merupakan sesuatu yang kompleks apalagi jika dihubungkan pada perspektif tata kelola ruang yang berpihak pada sosial ekologis yang adil dan lestari sehingga dibutuhkan keberpihakan yang tegas secara politik kebijakkan. Kejadian Bencana banjir dan longsor yang terjadi ini harus menjadi momentum untuk kita berbenah terhadap produk kebijakkan penataan ruang kita, dalam konteks Pemprov Kalsel dapat dimulai dengan salah satunya melalui momentum revisi perda nomor 9 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 2015 – 2035 ini, dimana penataan ruang kedepan harus mampu menujukkan upaya pengurangan risiko bencana terhadap pemanfaatan ruang yang secara jenis dan intensitas penggunaan lahan yang berdampak negatif terhadap sumber daya yang ada.
Amanat dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, setidaknya terdapat empat peran penataan ruang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, yaitu: pencegahan, mitigasi, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, dan acuan rekonstruksi pasca bencana. Karena jika tidak maka kejadian bencana di tambah perubahaan iklim akan terus memperbesar kerusakan dan kerugian yang ada dan menghancurkan pembangunan yang telah dicapai saat ini.
*Tulisan ini telah terbit di kolom opini banjarmasinpost 13 Februari 2021