You are currently viewing Surutnya Pendanaan Batubara, Pemerintah Harus Evaluasi Total Perpanjangan Perusahaan PKP2B
Kolam tambang PT. Adaro di Kabupaten Tabalong

Surutnya Pendanaan Batubara, Pemerintah Harus Evaluasi Total Perpanjangan Perusahaan PKP2B

Siaran Pers

Di tengah tren global dalam penghentian pendanaan batubara, pemerintah Indonesia harus segera
mengevaluasi total perpanjangan kontrak perusahaan PKP2B, salah satunya Adaro
.

Jakarta, 14 Juli 2022 – Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris menghentikan dukungan
pendanaan ke perusahaan batubara terbesar kedua di Indonesia, PT Adaro Indonesia Tbk. Standard
Chartered mengonfirmasi hal ini melalui surat elektronik kepada Market Forces. Kebijakan ini keluar
setelah meningkatnya tekanan publik dari para aktivis lingkungan perihal keterlibatan bank dengan
Adaro.

Sejak tahun 2006, Standard Chartered telah menyediakan dana sebesar US$434 juta untuk grup Adaro.
Pada April 2021, Standard Chartered mengambil bagian dalam sindikasi pinjaman US$400 juta untuk
Adaro. Padahal model Standard Chartered untuk menilai risiko transisi iklim, menyebutkan bahwa semua
komponen batubara dinilai selaras dengan risiko 6 derajat pemanasan global.

“Seharusnya Standard Chartered memutuskan kebijakan penghentian pendanaan itu sejak dulu. Ini juga
menjadi sinyal kepada pemberi pinjaman Adaro lainnya untuk mengakhiri semua pembiayaan Adaro.
Pemberi pinjaman lain seperti HSBC, SMBC, Mizuho, OCBC, dan CIMB, memiliki kebijakan pengecualian
batubara tetapi masih membiayai Adaro. Jika kebijakan pengecualian batubara tersebut benar, maka
pemberi pinjaman ini harus segera berkomitmen untuk meninggalkan Adaro. Tanpa tindakan apa pun
untuk menghentikan pinjaman Adaro, kebijakan ini hanya basa-basi,” kata Nabilla Gunawan, juru
kampanye Market Forces dalam acara temu virtual media, Kamis (14/7).

Sementara itu, kontrak perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara
(PKP2B) Adaro akan segera berakhir pada 1 Oktober mendatang. Diketahui, Adaro memiliki cadangan
batubara sebesar 1,1 miliar ton dan berencana akan menggali seluruh cadangan batubara tersebut
selama 20 tahun ke depan. Jika seluruh cadangan batu bara Adaro ini dibakar untuk pemakaian
pembangkit listrik, maka berpotensi menghasilkan emisi yang sama dengan emisi tahunan negara India.

Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia mengemukakan, dengan penguatan komitmen
iklim dan gelombang percepatan transisi energi di banyak negara membawa konsekuensi di mana
banyak bank yang mulai menarik diri dari pendanaan batubara. Sehingga saat ini, perusahaan pemegang
PKP2B yang sedang dalam proses memperpanjang izin operasi mengalami banyak hambatan.
Prosesnya tidak akan berjalan dengan mulus terutama akibat tekanan dari sisi pasar dan masyarakat.

“Kondisi akan semakin sulit karena ke depan akan ada relasi yang timpang. Industri batubara butuh
dukungan dari lembaga finansial, tetapi lembaga finansial tidak lagi membutuhkan sektor ini karena
pertimbangan resiko bisnis dan reputasi jika tetap mendanai sektor batubara,” ujarnya.

Pinjaman ke perusahaan batubara melanggar komitmen penghapusan batubara dari bank

Adaro telah memproduksi 54 juta ton batubara pada 2021 dan berencana untuk meningkatkan produksi
batubaranya menjadi 60 juta ton pada 2022. Adaro tidak memiliki rencana dengan metrik dan target yang
jelas untuk mengurangi ketergantungannya terhadap batubara. Itu berarti Adaro berada di jalur yang tidak
sesuai dengan standar Net Zero Emisi 2050 oleh International Energy Agency (IEA) yang menyatakan
tidak boleh ada tambang batubara baru setelah tahun 2021.

Perwakilan Standard Chartered menegaskan bahwa berdasarkan Power Generation Position Statement
maka, Standard Chartered tidak dapat lagi mendukung PT Adaro Indonesia Tbk. karena perusahaan
100% bergantung pada bisnis batubara termal.

Kebijakan Standard Chartered juga menyatakan bahwa pada 2024, Standard Chartered hanya akan
memberikan pinjaman kepada perusahaan batubara yang memperoleh kurang dari 80% pendapatannya
dari batubara, yang secara alami mengecualikan Adaro karena memperoleh 96% pendapatan dari
batubara pada 2021 tanpa rencana pengurangan.

Risiko transisi mendorong bank untuk meninggalkan batubara

Aset batubara memiliki profil risiko tinggi. Risiko tersebut termasuk penurunan pasar batubara dalam
jangka menengah dan panjang. Sebuah studi dari Australian National University (ANU) memprediksi
ekspor batubara China akan menyusut 49% pada 2025 dari kebijakan dekarbonisasinya. Sebesar 45%
ekspor batu bara Indonesia dibeli oleh China pada 2021.

“Industri batubara saat ini memang sedang dalam fase panen keuntungan karena harga komoditas yang
sedang tinggi akibat pengaruh dinamika geopolitik global. Namun, nasib baik dan masa depan industri
batubara diprediksi tidak mampu bertahan lama. Transisi energi global akan mengakibatkan industri
batubara kehilangan pasar dan mengalami penurunan permintaan batubara. Perusahaan mana pun yang
tidak membangun rencana strategi bisnis untuk keluar dari komoditas batubara akan tertinggal. Ada risiko
besar sebab ini berarti hampir semua perusahaan batubara Indonesia akan tertinggal,” jelas Andri.

Direktur Eksekutif Asosiasi Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, pada Maret 2022 mengakui
pembiayaan batubara memang semakin langka dan perusahaan tambang harus lebih mengandalkan
modal internal untuk membiayai proyeknya.

Bank harus menjaga reputasinya dengan tidak mendanai perusahaan perusak lingkungan

Adaro telah menjadi sasaran kritik oleh para aktivis karena rekam jejak lingkungan dan sosialnya yang
buruk. Perusahaan batubara menggusur paksa warga desa Wonorejo untuk ekspansi pertambangannya.

Desa Wonorejo terletak di Kalimantan Selatan dan dulunya merupakan rumah para transmigran dari
Jawa. Investigasi oleh Project Multatuli mengonfirmasi bahwa desa ini sekarang kosong dan telah
berubah menjadi kolam pengendapan batubara Adaro. Praktik-praktik semacam itu berisiko mencemari
kebijakan perlindungan dan keberlanjutan sosial dan lingkungan bank.

“Aktivitas tambang Adaro telah menggusur warga Wonorejo di daerah tersebut. Warga di sini biasa
diintimidasi aparat keamanan jika tidak mau menjual tanahnya. Fakta-fakta ini seharusnya mendorong
pemerintah untuk mengaudit Adaro, mengevaluasi total praktik tambangnya, dan menuntut tanggung
jawab lingkungannya. Kami mendorong semua pihak mengawal proses perpanjangan perizinan industri
ekstraktif ini yang berdampak langsung ke masyarakat di tapak,” tegas Kisworo Dwi Cahyono, Direktur
Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan, Forum Lingkungan Hidup Indonesia.

Kontak Media:

Nabilla Gunawan, Market Forces, +62 811-9890-068
Andri Prasetiyo, Trend Asia, +62 878-8345-3112
Kisworo Dwi Cahyono, Walhi Kalimantan Selatan, +62 813-4855-1100

walhikalsel

Non-Governmental Organization

Tinggalkan Balasan