You are currently viewing Usulan Taman Nasional Meratus Ancam Hak Masyarakat Adat

Usulan Taman Nasional Meratus Ancam Hak Masyarakat Adat

Banjarbaru, 22 Desember 2025 – Wacana pengusulan Pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional masih mengemuka dan menuai penolakan luas dari masyarakat adat Dayak Meratus. Dalam Dialog Publik “Taman Nasional Meratus: Solusi Konservasi atau Konflik Agraria dan Perampasan Hak Masyarakat Adat?” yang digelar pada Kamis, 18 Desember 2025 di Banjarbaru, WALHI Kalimantan Selatan menegaskan bahwa skema Taman Nasional bukan jawaban atas krisis ekologis di Meratus, bahkan berpotensi melahirkan konflik baru.

Direktur WALHI Kalimantan Selatan, Raden, menyatakan bahwa usulan Taman Nasional Meratus lahir tanpa fondasi keadilan sosial dan pengakuan hak masyarakat adat. “Pegunungan Meratus bukan ruang kosong. Di dalam wilayah yang diusulkan sebagai taman nasional, sebagian besar masih dikelola masyarakat adat yang telah menjaga hutan jauh sebelum negara hadir,” tegasnya.

Perwakilan masyarakat adat Dayak Meratus, Anang Suriani, menyampaikan penolakan tegas terhadap rencana tersebut. Menurutnya, penetapan Taman Nasional akan membatasi akses hidup, ruang adat, serta praktik budaya yang selama ini justru menjaga kelestarian Meratus. “Hutan bagi kami adalah ibu dan bapa. Jika Taman Nasional dipaksakan, itu berarti menghilangkan sumber hidup dan identitas kami sebagai masyarakat adat,” ujarnya.

WALHI Kalsel mencatat bahwa sekitar 52,84 persen wilayah usulan Taman Nasional Meratus masih merupakan wilayah kelola masyarakat adat, dan lebih dari separuh wilayah adat yang telah dipetakan berpotensi masuk dalam zona taman nasional. Kondisi ini berisiko memicu kriminalisasi, pembatasan aktivitas adat, serta perampasan ruang hidup atas nama konservasi.

Dari sisi kebijakan, WALHI Kalsel menilai bahwa Taman Nasional bukan satu-satunya, apalagi solusi terbaik, untuk melindungi Pegunungan Meratus. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa kawasan konservasi kerap menjadi pintu masuk investasi pariwisata, perubahan zonasi, hingga penguasaan korporasi, sementara masyarakat adat justru disingkirkan dari wilayahnya sendiri.

Akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Netty Herawati mengingatkan bahwa konservasi yang mengabaikan manusia di dalamnya adalah bentuk kegagalan kebijakan. Ia menegaskan pentingnya prinsip bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dalam setiap rencana pengelolaan kawasan. Menurutnya, wilayah kelola masyarakat adat terbukti memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan berkontribusi nyata dalam menjaga ekosistem.

Sementara itu, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan melalui Arifuddin menyampaikan bahwa status Taman Nasional Meratus hingga kini masih berupa usulan dan belum ditetapkan. Namun WALHI Kalsel menilai, meskipun belum ditetapkan, proses pengusulan tanpa persetujuan masyarakat adat tetap merupakan bentuk pengabaian hak dasar warga Meratus.

WALHI Kalimantan Selatan menegaskan bahwa penolakan Taman Nasional Meratus bukan penolakan terhadap perlindungan hutan, melainkan penolakan terhadap model konservasi yang tidak adil dan eksklusif. Meratus tidak sedang kekurangan penjaga. Yang dibutuhkan Meratus adalah keadilan.

Narahubung: pewalhikalsel@proton.me

Walhi Kalimantan Selatan

Non-Governmental Organization

Tinggalkan Balasan