You are currently viewing Hari HAM Sedunia Bukan Peringatan Kalender Belaka

Hari HAM Sedunia Bukan Peringatan Kalender Belaka

Oleh: Kingking

Setiap tanggal 10 Desember, publik memperingati Hari HAM Sedunia (Human Rights Day) yang mengadopsi tanggal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Momentum ini menjadi pengingat keras bahwa pelanggaran HAM adalah fakta yang terangnya bagai matahari. Manusia mempunyai hak yang melekat sejak dalam kandungan ibunya dan wajib dilindungi tanpa memandang ras, suku, agama, dan status sosial.

Di Indonesia, isu HAM penuh dengan bercak darah dan arsip angka atas hilangnya nyawa manusia. Tragedi politik di era Orde Baru, aneksasi Papua, hingga terbaru praktik perusakan lingkungan oleh ekofasis kian terakumulasi dan menjadi muara atas bencana ekologis yang menghilangkan banyak nyawa. Dari kejadian Sumatra, publik belajar vis a vis: pelanggaran HAM bukan sekadar kekerasan fisik secara langsung‒tetapi juga dalam bentuk perampasan ruang hidup dan penghancuran ekosistem.

Dalam lanskap Kalimantan Selatan, isu HAM dan lingkungan tidak bisa dipisahkan. Ketika hutan Meratus terus dikepung konsesi tambang, ekosistem gambut rusak oleh sawit, sungai-sungai tercemar limbah, banjir berulang kali melanda wilayah hulu-hilir, kerusakan telah mencapai pada titik hak-hak dasar manusia untuk hidup aman, sehat, dan bermartabat.

Secara tegas, UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) menyatakan hak setiap orang atas “lingkungan hidup yang baik dan sehat” dan UU Nomor 39/1999 tentang HAM Pasal 9 ayat (3) tak kalah tegasnya berbunyi: lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi yang wajib dilindungi negara. Namun, fakta yang terjadi di masyarakat adalah maraknya dominasi konsesi industri ekstraktif yang menyebabkan deforestasi, krisis air, hingga terancamnya hak masyarakat adat. Kalimantan Selatan telah dikuasai izin konsesi seluas 51,57 persen dan telah kehilangan 150 ribu hektare tutupan pohon dalam puluhan tahun belakangan ini.

Dalih konservasi ala negara juga abai terhadap kearifan lokal orang-orang Meratus. Usulan Taman Nasional Pegunungan Meratus yang mencakup lima kabupaten dengan total luas 119 ribu hektare lebih menghilangkan prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) dan berpotensi menelan bulat-bulat wilayah adat seluas 52 persen dari total luas usulan. Maraknya tambang ilegal juga bentuk pelanggaran HAM. Aktivitas ekonomi warga seperti bertani dan menyadap karet mengalami dampak negatif yang signifikan. Aparat Penegak Hukum mestinya lebih peka terhadap hal-hal demikian dan mulai membenahi diri atas kinerjanya yang terkesan condong berpihak pada elite ketimbang rakyat.

Dalam perjuangan menjaga lingkungan, hambatan kriminalisasi bahkan penghilangan nyawa adalah momok nyata bagi warga sipil. Abah Nateh, pejuang lingkungan dari Hulu Sungai Tengah, Jurkani, pengacara yang melakukan advokasi melawan tambang ilegal di Tanah Bumbu, hingga dibunuhnya Paman Russel, tokoh adat yang melakukan aksi penolakan angkutan batu bara menggunakan jalan umum di Muara Kate adalah fakta yang pahit bagi masyarakat Kalimantan khususnya.

Terbaru, dua orang staf WALHI Jawa Tengah Adetya Pramandira dan Fathul Munif yang dikriminalisasi menambah catatan kelam pelanggaran HAM di Indonesia. Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas berbunyi: “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Hari HAM Sedunia semestinya bukan sekadar ritual seremonial yang berlalu bersama kalender―ia adalah alarm yang terus berdering, mengingatkan bahwa negara memiliki kewajiban hukum, moral, dan politik untuk menjamin hak-hak dasar warganya. Di Kalimantan Selatan, tempat di mana konflik sumber daya alam dan ketimpangan kuasa bertemu, pelanggaran HAM sudah menjelma menjadi krisis yang tak bisa lagi ditunda penyelesaiannya. Hilangnya hutan, rusaknya sungai, kriminalisasi pejuang lingkungan, hingga ancaman terhadap masyarakat adat, semuanya menegaskan bahwa pelanggaran HAM hari ini telah berwujud lebih kompleks dan lebih sistematis.

Karenanya, komitmen negara tidak boleh berhenti pada dokumen peraturan. Ia harus hadir sebagai tindakan nyata: penegakan hukum yang adil, pembatasan ketat terhadap industri ekstraktif, pemulihan wilayah yang rusak, serta jaminan perlindungan terhadap pembela lingkungan dan masyarakat adat yang memertahankan ruang hidupnya. Tanpa langkah-langkah ini, peringatan HAM hanya akan menjadi retorika tanpa jiwa.

Pada akhirnya, segala bentuk perjuangan untuk lingkungan yang sehat, ruang hidup yang layak, dan masa depan yang adil adalah fondasi bagi tegaknya martabat manusia. Hari HAM Sedunia menjadi refleksi sekaligus seruan: bahwa keberpihakan pada rakyat dan keberanian mengoreksi kekuasaan adalah syarat mutlak bagi negara yang benar-benar bekerja untuk menjaga kehidupan. Dan pertanyaan itu masih menggantung di udara—sudahkah negara benar-benar belajar?

Walhi Kalimantan Selatan

Non-Governmental Organization

Tinggalkan Balasan