You are currently viewing Gerakan Alternatif Peduli Lingkungan yang Potensial dari Beragam Kelompok
Pemuda Kampanye #SaveMeratus dengan Bersepeda

Gerakan Alternatif Peduli Lingkungan yang Potensial dari Beragam Kelompok

Oleh: Kingking, pemuda medioker yang kebetulan suka menulis.

Di tengah ketidakpastian iklim yang kita hadapi kini, seperti hujan yang berpotensi banjir, terik matahari yang memicu kobar api di lahan gambut, hingga kualitas udara yang semakin buruk‒kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan menjadi terpantik. Di balik kabar baik itu, terdengar bunyi langkah pelan dari kelompok gerakan alternatif yang muncul di ruang kecil, di antara akar rumput yang organik. Langkah itu tidak selalu tampil di media arus utama, namun ia eksis di tengah kita dan bekerja dengan cara-cara unik juga kontekstual. Mereka hadir dengan beragam latar alasan: ketidakpuasan, keraguan, bahkan kebiasaan yang menjadi tren kelompok mereka. Namun, semuanya bisa dikerucutkan menjadi satu alasan absolut: kepedulian terhadap keberlanjutan lingkungan.

Gerakan-gerakan alternatif bercirikan salah satunya adalah keberpihakan terhadap kearifan lokal dalam tata kelola lingkungan. Misalnya, berbicara mengenai Kalimantan Selatan yang diberi Meratus oleh Tuhan sebagai basis pengetahuan budaya, adat leluhur, dan kehidupan yang selaras dengan alam‒masyarakat adat di sana tidak menulis tentang gerakan alternatif, melainkan mereka menghidupkannya. Di Meratus, mereka memiliki konsep Hutan Larangan yang diatur oleh adat bahwa hutan itu tidak boleh dieksploitasi atas dasar apapun. Dengan demikian, mereka memiliki sistem konservasi yang mengatur dengan bijak interaksi manusia dengan alam liar. Selain itu, mereka melaksanakan ritual Aruh Adat, yaitu ritual yang dilaksanakan setelah mendapatkan hasil panen sebagai bentuk rasa syukur kepada Alam. Hal ini menjadi relevan karena untuk melaksanakan Aruh Adat mereka harus memiliki hasil panen dari ladang-ladang mereka dan untuk berladang mereka harus memiliki tanah yang terjaga dari invasi dan ekspansi tambang juga sawit. Mereka mengonstruksi adat sebagai pedoman moral berperilaku kepada alam. Mereka memanfaatkan tanpa merusak karena adat mengenal kata cukup, sedangkan kapitalisme tidak. Situasi ini juga terjadi di wilayah-wilayah hukum adat yang lain, tidak hanya Meratus.

Turun dari gunung menuju perkotaan yang didominasi masyarakat Banjar dengan kultur religius Islam, mereka memiliki fiqih lingkungan sebagai landasan berperilaku kepada alam tanda kebesaran Allah. Fiqih lingkungan adalah bagian dari khazanah ilmu Islam yang mengatur hubungan manusia sebagai hamba-Nya dalam mengelola alam. Perspektif ini tidak menjadikan alam sebagai objek eskploitasi semata, melainkan ciptaan Allah yang memiliki hak untuk dipelihara dan dihormati. Allah secara tegas mengatakan dalam Q.S. Al-A’raf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” Hal ini menjadikan fiqih lingkungan sebagai modal dasar gerakan alternatif di masyarakat Banjar dengan akar religius Islam dalam membentuk etika ekologi. Berbuat kerusakan pada ciptaan-Nya adalah kezaliman dan segala kezaliman dilarang dalam Islam.

Di perkotaan yang digempur gelombang globalisasi, sudah tentu anak mudanya mendapatkan akses teknologi yang masif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 mencatat bahwa 94,16 persen anak muda Indonesia usia 16‒30 tahun pernah mengakses internet dengan mayoritas pengunaan untuk media sosial sebesar 84,37 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peran anak muda sangat berpengaruh dalam membentuk tren dan budaya digital yang beririsan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks gerakan alternatif, anak muda menawarkan inovasi ringan yaitu kampanye dan edukasi publik tentang lingkungan, bahkan juga dibarengi dengan aksi nyata seperti bersih-bersih sampah. Mereka dapat menjangkau audiens yang luas dan beragam.

Berbicara soal anak muda, tentu tidak lepas dengan peran ibu yang melahirkannya‒bahkan melampaui ibu, yaitu peran perempuan pada umumnya. Dalam sejarah perjuangan lingkungan yang beragam, banyak kisah heroik kaum perempuan yang menjadi garda terdepan dalam menjaga lingkungan hidupnya. Dalam berita media, kisah tentang kelompok perempuan yang berdaya aktif mengolah limbah rumah tangga menjadi barang daur ulang bernilai ekonomi dan membuka peluang usaha bersama cukup banyak ditemukan. Mereka menjadi contoh konkret dalam menerapkan keberlanjutan lingkungan berupa gerakan alternatif berbasis gender atau yang akrab dikenal sebagai ekofeminisme. Perempuan adalah bagian dari alam. Penindasan terhadap alam berarti menindas perempuan, solidaritas dalam merawat alam berarti merawat keadilan dan kelestarian. Akar masalah yang dihadapi perempuan dan alam sama, yaitu sistem patriarki, kapitalisme, dan dominasi hierarkis.

Di tengah sistem yang memuakkan, gerakan alternatif lingkungan juga bisa dilakukan dalam bentuk sabotase kecil seperti menanam pohon di lahan kosong entah milik siapa atau membuat kebun kolektif di tengah kota. Cara-cara ini adalah titik cinta tertinggi pada bumi yang dibumbui dengan label “unik, nakal, rebel, radikal”. Namun, gerakan alternatif tak selalu harus terorganisir. Ia bisa hadir dari individu yang memilih berjalan kaki ketimbang naik motor, dari keluarga yang memilah sampah, dari komunitas kecil yang berbagi bibit tanaman dan gemar berbagi pengetahuan lingkungan. Di sanalah letak kekuatan tersembunyi, di gerakan kecil yang konsisten dan tersebar luas perlahan menguatkan fondasi sosial yang lebih ramah lingkungan.

Gerakan alternatif lingkungan yang tumbuh dari beragam kelompok masyarakat menunjukkan bahwa kepedulian terhadap bumi tidak mengenal batas sosial, ekonomi, maupun geografis. Dari adat hingga agama, dari anak muda hingga perempuan, dari kampanye digital hingga sabotase simbolik—semuanya adalah bentuk cinta kepada alam yang beragam. Justru dalam keragaman inilah terdapat harapan bahwa masa depan lingkungan bisa diselamatkan, bukan hanya oleh satu gerakan besar, tapi oleh banyak gerakan kecil yang terus bergerak. Bumi tak menuntut kita menjadi pahlawan, ia hanya ingin kita peduli, setiap hari, dengan cara kita masing-masing.

Walhi Kalimantan Selatan

Non-Governmental Organization

Tinggalkan Balasan