Judicial Review UU Minerba Memasuki Masa Sidang di Saat Kriminalisasi Warga yang Kian Masif
Aksi Hari Bumi di Banjarbaru Tahun 2019

Judicial Review UU Minerba Memasuki Masa Sidang di Saat Kriminalisasi Warga yang Kian Masif

Jakarta, 3 Agustus 2021. Pengajuan Judicial Review (JR) Undang-undang (UU) Minerba [1] yang dilakukan oleh dua warga terdampak, Nur Aini dan Yaman serta dua organisasi masyarakat sipil WALHI Nasional dan JATAM Kaltim akan segera memasuki sidang pertama. Persidangan dengan perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 itu akan dilakukan pada Senin, 9 Agustus 2021 pukul 13.30 WIB dengan agenda pemeriksaanpendahuluan [2].

“Penting untuk mengawal jalannya persidangan pengujian UU minerba. Dengan mengawasi proses JR ini, maka kita sedang mendukung MK agar bisa menjadi tempat rakyat mencari keadilan,” kata Lasma Natalia, penasehat hukum pemohon dari LBH Bandung.

Sebagai informasi, setahun lebih setelah UU Minerba disahkan, warga yang menjadi korban kriminalisasi tidak hanya Nur Aini dan Yaman. Baru-baru ini, tujuh (7) orang nelayan di Bangka Belitung ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bangka Belitung. Mereka ditangkap saat berjuang melindungi wilayah tangkap dari gempuran operasi tambang timah.

“Kami berharap Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengerahkan perhatian pada JR UU Minerba ini. Sebab di tengah himpitan pandemi, kriminalisasi terhadap rakyat di wilayah pertambangan dengan alasan menggunakan UU Minerba terus terjadi bahkan semakin masif,” tambah Lasma.

Nasib serupa juga dialami empat (4) warga Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-sanga yang terancam dibui atas pelaporan PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) kepada Polres Kutai Kartanegara pada tanggal 25 Februari 2021. Tuduhan dari PT ABN kepada empat warga Kelurahan Jawa menghentikan aktivitas pertambangan adalah tidak benar. Kehadiran puluhan warga di lokasi settling pond PT ABN untuk memeriksa sumber air dan lumpur yang menyebabkan pemukiman warga diterjang banjir. Ini hanyalah alasan yang dibuat-buat perusahaan tambang yang sahamnya dimiliki Luhut Binsar Pandjaitan. Kriminalisasi itu terjadi lantara warga menolak menerima tawaran uang bising yang diikat lewat kontrak perjanjian yang tidak masuk akal dan merugikan warga.

Selain itu, tiga petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Multi Guna (KTMG) ditetapkan menjadi tersangka pada 21 Januari 2021 oleh Polres Kutai Timur. Ditemukan banyak kejanggalan dari kasus ini, yakni selain penetapan tersangka yang berselang dua tahun dari peristiwa yang dilaporkan pada aksi damai pada 29 Juli 2009, hal lainnya aksi tersebut telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak kepolisian. Polisi turut mengawal jalannya aksi, sementara tuduhan merintangi dan mengganggu kegiatan usaha pertambangan sudah terbantahkan. Kelompok tani yang melakukan aksi di atas tanahnya sendiri menuntut PT. Kaltim Prima Coal mengganti rugi dan membebaskan tanah mereka.

Pradarma Rupang dari JATAM Kaltim mengatakan, “Dampak mengerikan UU Minerba baru sudah dirasakan rakyat. Sebelum disahkan, rakyat dari berbagai kampung sudah menyampaikan kekhawatiran tersebut dalam sidang rakyat tolak energi kotor. Sekarang terbukti regulasi baru ini memangsa rakyat yang menolak proyek pertambangan.”

Solusi sentralisasi kewenangan hanya akan menggeser ruang korupsi dari daerah ke pusat, mendekati oligarki besar di Ibu Kota. Celakanya aparat hukum dalam menindak kasus korupsi hanya menggunakan alat ukur kerugian yang dialami negara, tetapi tidak mempertimbangkan kerugian yang diderita rakyat di lingkar tambang. Padahal sangat jelas dimanapun kewenangan itu berada, masyarakat yang terdampak aktivitas tambang yang selalu menjadi korban dan harus mengatasi krisis tersebut.

Pemusatan kewenangan kepada pemerintah pusat akan semakin menjauhkan jangkauan warga di lingkar tambang untuk melakukan pengaduan. Langkah ini sejatinya semakin mempersulit akses warga di lingkar tambang untuk melakukan pelaporan. Jarak sengaja dibangun hingga pada akhirnya setiap kasus tambang nyaris tanpa adanya kepastian hukum bagi masyarakat korban tambang.

“Mengaktifkan kembali layanan izin lewat pemerintah pusat akan mengancam inisiatif daerah yang berupaya melindungi wilayahnya melalui kewenangan daerah,” sebut Pradarma.

Sebelumnya di beberapa provinsi seperti Aceh, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur telah membuat kebijakan moratorium izin, dengan tujuan antara lain mengantisipasi meluasnya kerusakan lingkungan serta menahan laju bencana yang kerap dialami masyarakat di daerah. Hal lainnya adalah ada upaya dilakukannya pemulihan oleh daerah untuk keluar dari krisis ekologis, sehingga jeda dari aktivitas pembongkaran bentang alam dan peracunan terhadap air, tanah serta udara mutlak dilakukan.

“Pasal-pasal dalam UU minerba yang baru membuat Tambang berada diatas segalanya, Aturan Tata Ruang di daerah dipaksa mengikuti perizinan pertambangan tanpa mengindahkan keselamatan ruang dan pengaturan ruang di daerah. Ancaman terhadap warga yang menolak keberadaan pertambangan juga semakin tinggi karena terdapat pasal yang memungkin kan untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga yang menolak keberadaan tambang di wilayah mereka. Persoalan ini dapat menimpa siapapun yang keberatan terhadap pertambangan, oleh karena itu perlu dukungan dari publik luas untuk memantau jalannya persidangan JR UU minerba supaya hakim-hakim MK memutus dengan mempertimbangakan keselamatan rakyat” menurut Dwi Sawung

Catatan:
[1] Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
[2] Naskahpermohonan: https://www.mkri.id/public/filesimpp/berkasReg_3391_Permohonan%20Registrasi%2037%20PUU%20XIX%202021.pdf

Kontak media:
Pradarma Rupang dari JATAM Kaltim,+62 852-5050-9899
Dwi Sawung dari WALHI Nasional, +63 999 412 0029(wa only)
Lasma Natalia, Penasehat Hukum dari LBH Bandung, +62 852-6333-8585

walhikalsel

Non-Governmental Organization

Tinggalkan Balasan

Close Menu