Sikap DPR dan DPD Tidak Jelas, Surat Dilayangkan Ke Senayan
Perwakilan Koalisi Fraksi Rakyat Indonesia Kalimantan Selatan

Sikap DPR dan DPD Tidak Jelas, Surat Dilayangkan Ke Senayan

Tidak jelasnya DPR RI Dapil Kalsel dalam menyikapi tuntutan penolakan Omnibuslaw RUU Cipta Kerja membuat FRI Kalsel melayangkan surat ke wakil rakyat kalsel dan senator di Senayan.

Dalam konferensi pers yang berlangsung di Kantor Walhi Kalsel (21/7), pimpinan lembaga dan individu yang tegabung dalam FRI Kalsel kembali menyampaikan tuntutan kepada DPR-RI dapil Kalsel yang ada di Jakarta. Mereka menuntut DPR RI Dapil Kalsel untuk memperjelas sikapnya menolak atau menerima RUU Cipta Kerja secara tertulis selambatnya pada 28 Juli mendatang.

“Kami akan mengirimkan surat ke DPR RI Dapil Kalsel untuk mempertanyakan sikapnya. Apakah mereka berpihak pada rakyat yang memilihnya atau justru pada undang-undang pro investasi” ujar Ricky sebagai koordinator konferensi pers FRI Kalsel.

Sebelumnya diketahui bahwa DPR-RI tidak berhadir pada audiensi virtual antara FRI dan DPR yang difasilitasi oleh DPRD Kalsel minggu lalu (15/7). Meski satu orang sempat menyatakan kehadirannya dalam sebuah berita.

Selain DPR, surat juga ditujukan pada DPD RI. Menurut FRI, DPD juga berwenang dalam membahas sebuah undang-undang. Meski salah satu senator Kalsel, Abdurrahman Bahsyim atau Habib Banua telah menanggapi tuntutan FRI saat audiensi virtual, namun belum jelas apakah dia juga ikut menolak Omnibuslaw ini.

“Pernyataan senator kita cenderung normatif, tidak jelas apakah dia menolak atau menerima RUU Cipta Kerja, dia hanya bilang harus dikaji dulu, kalau baik diterima kalau tidak baik ditolak” ujar Wira Surya Wibawa perwakilan Organisasi Mahasiswa Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin sembari mengulangi perkataan Habib Banua.

Jika dalam waktu yang telah ditentukan DPR RI dan DPD RI wakil Kalsel tidak juga menyatakan sikap konkrit secara tertulis terhadap Omnibuslaw, maka FRI akan menyampaikan mosi tidak percaya dan mosi salah pilih wakil rakyat. Selain itu mereka juga menyatakan akan terus melakukan aksi-aksi sampai Omnibuslaw digagalkan.

Perwakilan lembaga dan individu yang tergabung dalam FRI Kalsel secara bergantian menegaskan kembali alasan kenapa Omnibuslaw RUU Cipta Kerja harus digagalkan. Menurut mereka masyarakat luas dari berbagai kalangan juga harus ikut menolak karena RUU ini akan berdampak pada banyak orang.

Kisworo Dwi Cahyono selaku Direktur Eksekutif Walhi Kalsel menyampaikan pendapatnya, disaat pandemi seperti sekarang ini masyarakat dipaksa berdiam di rumah saja sementara DPR RI malah membahas RUU Omnibus Law yang menuai penolakan kuat di masyarakat.

“Kita di Kalsel harus menolak RUU Omnibus Law ini, kita lihat akhir-akhir ini hujan sebentar bisa banjir dan jika kemarau akan memicu Karhutla dan asap. Penguasaan ruang oleh sektor tambang dan sawit di Kalsel yang hampir 50 persen dari total luas wilayah 3,7 juta hektar juga akan menambah potensi bencana ekologis” terangnya.

Kis sapaan akrab Kisworo juga menambahkan bahwa yang lebih mendesak untuk disahkan ialah RUU Masyarakat Adat yang sudah lama didorong lembaga masyarakat sipil untuk disahkan. Di Kalsel ada sekitar 52 komunitas atau balai adat dan ada kurang lebih 250.000 hektar wilayah adat yang telah dipetakan jaringan masyarakat adat dan koalisi Non Governmental Organization (NGO).

Dwi Putra Kurniawan juga menambahkan dalam perspektif petani “RUU Omnibus Law ini bukan hanya memberi dampak negatif kepada tenaga kerja, lingkungan, mahasiswa, pendidikan, perempuan, dan masyarakat adat. Kaum petani pun juga akan terdampak”. Tegasnya mewakili himpunan petani kopi Borneo.

Dwi menyoroti beberapa pasal yang paling krusial memberi dampak terhadap aktivitas pertanian di daerah. Pasal 22 tentang perijinan pengolahan bahan pangan yang akan mendiskriminasi petani kecil karena dipaksa bersaing dengan industri besar dan prosesnya harus langsung ke pemerintah pusat.

Ada lagi pasal lainnya yang akan merugikan petani kecil yaitu pasal 33 tentang penyetaraan bahan pangan impor, walaupun dalam kondisi bahan pangan lokal sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ada juga konten di dalam RUU Omnibus Law yang menyebutkan penghapusan sertifikasi halal baik produk dalam maupun luar negeri. Ini akan berdampak pada konsumsi masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah muslim terangnya.

Muhammad Ihsanul Fikri mewakili mahasiswa, khususnya BEM Universitas Lambung Mangkurat juga angkat bicara “Saya dengan konkrit menyatakan menolak draf RUU Omnibus Law karena cacat prosedur dan tidak partisipatif. Yang kedua, mengecam upaya sentralisasi kebijakan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi”. Tegasnya.

Anna Desliani perwakilan dari gerakan perempuan kolektif yaitu Narasi Perempuan menyampaikan responnya melalui pesan elektronik singkat karena tidak dapat berhadir secara langsung dalam konferensi pers FRI Kalsel.

Anna menjelaskan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja ini memposisikan perempuan rentan terhadap kekerasan seksual. Selain pasal-pasalnya yang tidak menjamin keamanan terhadap pekerja perempuan, dan menghilangkan hak-hak maternitas bagi pekerja perempuan.

Menurutnya dalam pasal ini juga memudahkan investas masuk, maka seperti yang kita lihat di Kalimantan sendiri bencana ekologis tidak bisa dihindari karena perusahaan tambang, sawit, dan lain sebagainya.

“Fakta yang kita tahu, di tempat-tempat pengungsian jika terjadi bencana, tentu saja perempuan mudah menjadi korban kekerasan seksual. yang artinya ini bukan lagi bentuk pembebasan bagi kaum perempuan, tapi penindasan yang dilakukan secara terstruktur oleh Negara”. Ujar Anna.

Anna menegaskan kembali dari pada DPR membahas apalagi sampai mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, lebih baik segera bahas RUU P-KS agar menjadi UU yang harapannya mampu menekan angka kekerasan seksual di Indonesia.

Menutup konferensi pers yang berlangsung selama dua jam ini, narasumber memperlihatkan surat yang akan dikirim ke DPR RI dan DPD RI.

Narahubung:
Ricky

walhikalsel

Non-Governmental Organization

Tinggalkan Balasan

Close Menu