Banjarmasin, 5 November 2021 – Sikapi pernyataan Pemerintah Republik Indonesia pada COP 26. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan bersama anggota lembaga, sahabat walhi dan jaringan strategis membentangkan spanduk #SaveMeratus dan sikap atas ancaman perubahan iklim di Sungai Barito pada Jum’at, (5/11).
Conference of the Parties (COP) atau konferensi para pihak merupakan forum tinggi tahunan bagi 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan membahas rencana negara-negara dunia dalam menanggulangi perubahan iklim. Kali ini COP yang ke 26 dilaksanakan pada 31 Oktober hingga 12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia.
Walhi menyayangkan pernyataan Jokowi pada COP 26 tersebut. Pasca itu cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Siti Nurbaya Bakar di Twitter juga menuai kontroversi. Walhi menyadari bahwa perubahan iklim terjadi secara sistematis dan bukan tanpa sebab.
Di Kalsel sendiri setengah wilayah daratannya telah dikuasai atau dibebani perizinan industri ekstraktif. Jika dikaitkan, bentuk perizinan yang serampangan inilah hulu dari perubahan iklim. Deforestasi atau penggundulan hutan, alih fungsi kawasan hutan telah nyata menjadi sumber terlepasnya karbon begitu cepat.
Hutan yang dulu kita banggakan sebagai paru-paru dunia kini tak bersisa, kebakaran hutan dan lahan diduga menjadi bagian erat ekspansi perusahaan sawit secara besar-besaran. Banyaknya lubang tambang tanpa reklamasi juga merusak paru-paru dunia.
Beban perizinan industri ekstraktif dan perizinan lainnya sudah menyandera lebih dari 50 persen total wilayah Kalsel dengan luas 3,7 juta hektar. Adapun beban perizinan tersebut diantaranya 1,17 juta hektar atau 31,20 persen mineral dan batu bara, 207.477 hektar atau 5,55 persen konsesi perkebunan (sawit), 754.702 hektar atau 20,19 persen Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).
Temuan Walhi Kalsel pada tahun 2019 Pemerintah Provinsi Kalsel diduga telah merekomendasikan pelepasan kawasan hutan atau tukar guling kawasan seluas 17.113,53 hektar untuk kepentingan korporasi perkebunan sawit skala besar di dua Kabupaten di Kalsel.
Praktik serampangan pelepasan kawasan hutan untuk korporasi ini memperbesar potensi gesekan antara masyarakat tani hutan dengan perusahaan. Seperti yang kita ketahui bersama, pada bulan Oktober lalu tepatnya pada Kamis, (21/10). Jokowi meresmikan pabrik biofuel sawit swasta yang diduga sumber sawit yang diproduksi telah banyak memicu konflik agraria dan mengkriminalisasi jurnalis serta aktivis.
Jokowi harusnya sadar, kekuatan korporasi bukan untuk ditakuti tetapi sebaliknya korporasi harus tunduk pada negara atas nama kedaulatan negara dan Pancasila.
Dalam momentum COP 26 Walhi Kalsel menyatakan sikap dan mendesak Pemerintah Republik Indonesia sebagai berikut:
1. Menolak praktik perdagangan karbon berbasis mekanisme pasar;
2. Menjadikan pembahasan Loss and Damage akibat krisis iklim sebagai agenda yang mendesak;
3. Mempercepat phasing out PLTU batubara sebelum 2030 dan menghentikan solusi iklim palsu;
4. Menyelamatkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak krisis iklim;
5. Melakukan pendekatan negosisasi berbasis hak bagi masyarakat adat, kelompok muda, perempuan dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Narahubung:
M Jefry Raharja (081256650756)