Oleh: Kingking
Warga Indonesia mendapatkan kado shockwave jilid ke-2 setelah isu PPN 12% yang eksis tanpa kepastian pada pergantian tahun 2024 ke 2025. Di awal tahun baru, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan akan mengoptimalkan proyek swasembada pangan, energi, dan industri sawit nasional dengan deforestasi hutan total seluas 20 juta hektar. Secara umum, deforestasi berarti pembukaan kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Definsi ini dikuatkan oleh Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 Tentang Cara Pengurangan Emisi dan Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) BAB I Pasal 1 Ayat (10) yang menyebutkan deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Deforestasi di Indonesia adalah isu yang terus diwariskan oleh setiap pemimpin lama kepada pemimpin baru tanpa berkomitmen untuk menuntaskannya. TanahKita.id mencatat per tahun 2024, luas Perhutanan Sosial di Indonesia mencapai 3 juta hektare, Hutan Adat dengan luas 8 juta hektare, dan usul alokasi lahan untuk program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 177.694 hektare. Dengan total 1,9 juta kilometer persegi luas daratan Indonesia, sekitar 64% wilayahnya yang mencakup hutan di Indonesia telah dibebani oleh izin industri ekstraktif. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian merincikan kepada CNN Indonesia bahwa ada 33 juta hektare hutan dibebani izin di sektor kehutanan, lalu 4,5 juta hektare konsesi tambang yang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, dan 7,3 juta hektare hutan sudah dilepaskan sekitar 70% untuk perkebunan sawit.
Merealisasikan deforestasi 20 juta hektare dengan cara apapun untuk swasembada pangan, energi, dan industri sawit adalah hal konyol yang akan menimbulkan dampak destruktif secara masif seperti memperparah krisis iklim, memicu bencana ekologis, menghilangkan keanekaragaman hayati dan non-hayati, menggerus kearifan lokal, serta membuka lebar potensi konflik agraria yang sifatnya vertikal; masyarakat dengan negara yang berpatron dengan kelompok kepentingan.
Sejak masa pra-industri‒sekarang, fungsi utama hutan tetap tidak dapat digantikan dengan segala jenis perkebunan skala besar. Hutan secara primer berperan sebagai pengatur siklus hidrologi, penyerap karbon, produksi oksigen, pelindung keanekaragaman hayati dan non-hayati, tempat belajar dan meneliti serta sebagai kawasan masyarakat adat memenuhi hajat hidupnya. Alaminya, hutan adalah kawasan multikultur. Membabatnya secara ugal-ugalan dan menggantinya dengan kebun monokultur, bahkan dengan metode “tumpang sari” tetap saja menimbulkan permasalahan lingkungan.
Direktur Walhi Kalimantan Selatan, Raden Rafiq S.F.W. menyatakan bahwa ada langkah yang lebih solutif mengenai swasembada pangan dan energi tanpa harus melakukan deforestasi yang masif, yaitu pemerintah harus berkomitmen mendukung petani lokal yang ada untuk mendapatkan hasil produksi maksimal sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.
*Penulis merupakan salah satu penggagas dan bagian dari Lingkar Baca Merdeka Tapin (Liberta)