Banjarbaru, 12 Oktober 2022 – Sepanjang 456 ribu meter jalan negara di Kalimantan Selatan dibebani dan dikepung perizinan tambang. Dampak dari beban izin tambang ini menimbulkan potensi kerugian negara karena rusaknya infrastruktur yang dibangun dengan uang pajak rakyat seperti jalan dan fasilitas umum lainnya.
Berdasarkan penelusuran dan analisis Walhi Kalimantan Selatan pada kasus longsornya jalan Negara di Desa Satui Barat, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu atau di kilometer 171 jalan Ahmad Yani arah Batulicin pada Rabu (28/9). Bahwa jarak lubang tambang dengan jalan yaitu dari sisi utara hanya 38 meter dan dari sisi selatan hanya 152 meter.
Adapun jarak lubang tambang dengan sungai hanya 195 meter, yang lebih parah lagi bahkan jarak lubang tambang dengan pemukiman dan rumah ibadah cukup dekat berkisar antara 79 hingga 42 meter. Tambang aktif hanya berjarak 183 meter dan titik longsor berjarak hanya 19 meter dari lubang pasca tambang yang terbengkalai. Carut marut pertambangan ini harusnya dapat ditindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana.
Sebagai acuan dasar hukum misalnya, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara bahwa jarak minimal tepi galian lubang tambang dengan pemukiman warga adalah 500 meter.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, di sana diatur tentang sempadan sungai paling sedikit 50 meter kiri dan kanan sungai untuk sungai kecil dan 500 meter untuk sungai besar. Sempadan sungai yang fungsinya untuk konservasi tidak seharusnya juga ditambang. Ditambah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Pasca Tambang, perusahaan tambang seharusnya menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur hak-hak masyarakat terhadap lingkungan hidup ataupun terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Salah satunya Pasal 65 yang mengatur hak setiap orang atas lingkungan hidup.
Negara dalam hal ini termasuk Pemerintah Daerah terlalu banyak berkompromi terhadap korporasi yang tidak bertanggung jawab, bahkan berkelit dan lari dari tanggung jawab atas kejadian ini. Di wilayah yang sama sekitar 762 meter dari longsor tersebut juga pernah dilakukan pemindahan jalan negara karena longsor akibat aktivitas tambang. Artinya kejadian ini selalu terulang dan pemerintah kembali lagi terbukti lalai dan selalu membiarkan kerusakan lingkungan terjadi seolah-olah Pemerintah di bawah kekuasaan korporasi.
Tata kelola pertambangan yang masih carut marut dan serampangan ini membuktikan bahwa pemerintah dan penegak hukum selalu lalai dan membiarkan kejadian selalu berulang. Selain kerusakan lingkungan, meninggalnya Advokat Jurkani juga bentuk kelalaian negara di sektor pertambangan.
Disekitar lokasi jalan negara yang longsor, perusahaan yang masih mengantongi izin dan beraktivitas di Satui Barat atau yang berdekatan dengan lokasi longsor adalah PT. Mitrajaya Abadi Bersama (MJAB) melalui Gubernur memperoleh izin seluas 198 hektar pada tahun 2020 dengan nomor Surat Keputusan (SK) 503/6-IUP.OP4/DS-DPMPTSP/IV/III/2020.
Di sisi lain ada konsesi PT. Arutmin yang baru saja diperpanjang pada November 2020 lalu dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seluas 11.403 hektar dengan nomor SK 221 K/33/MEM/2020 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Berdasarkan overlay data spasial setidaknya ada 25 perusahaan pertambangan yang izinnya tumpang tindih langsung dengan jalan negara di Kalsel.
Dengan adanya fakta tersebut, negara telah dihina melalui praktik buruk pertambangan ini. Pasca pencabutan beberapa perizinan alih fungsi lahan baik untuk sektor kehutanan, Hak Guna Usaha (HGU), dan tambang, tidak serta merta pengelolaan sumber daya alam di Kalsel semakin baik.
Sebaliknya, pemerintah juga menerbitkan beberapa izin baru dan memperpanjang beberapa PKP2B menjadi IUPK. Di Kalsel sendiri antara lain ada dua perusahaan besar yaitu PT. Arutmin dan PT. Adaro yang melenggang bebas mengupas dan menguras sumber daya alam di daerah dengan minim tanggung jawab pemulihan.
Kita dapat berkaca dari kasus Desa Wonorejo, Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan yang hilang digusur PT. Adaro untuk kepentingan tambang semata. Tidak ada tanggung jawab sosial secara utuh baik terhadap negara dan masyarakat wonorejo. Kerugian negara pun belum terhitung secara detail dari hilangnya infrastruktur yang dibangun dengan anggaran negara. Kasus wonorejo juga berlarut-larut dan menyebabkan efek domino di pemerintahan. Walhi menilai praktik buruk penguasaan ruang hidup ini sebagai pelanggaran HAM bahkan extraordinary crime.
Perpanjangan izin pertambangan batubara seakan seperti jalan tol yang bebas hambatan, tidak adanya pemeriksaan kembali seperti audit dan evaluasi yang komprehensif di tingkat daerah. Desakan masyarakat sipil begitu mudah diabaikan. Negara hanya menghitung profit yang didapat tanpa menghitung kerugian atau dampak buruk tidak langsung dari investasi yang tidak ramah HAM seperti tambang batubara ini.
Beberapa fakta tersebut membuktikan bahwa semakin lemahnya pengawasan dan penindakan negara terhadap sektor industri ekstraktif yang punya daya rusak tinggi ini. Kasus longsornya jalan negara ini pun bukan kali pertama terjadi.
Ada beberapa kasus lain yang tercatat di antaranya Pada Juli 2022 lalu terjadi longsor di Desa Bukit Mulya Kecamatan Kintap Kabupaten tanah Laut, lalu longsornya jalan di Desa Bunati Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu pada Mei 2021, lalu di Desa Tatakan Kecamatan Tapin Selatan Kabupaten Tapin pada Oktober 2021. Mundur beberapa tahun lagi juga masih samar di ingatan kasus longsor lubang pasca tambang di Desa Kintap Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut pada Juni 2017 yang menyebabkan 8 rumah warga hanyut dan 11 rumah warga rusak.
Walhi menyebut kasus-kasus yang disebabkan aktor industri ekstraktif ini adalah buah dari lalai dan lemah nya negara untuk memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan. Potensi kerugian negara pun telah terjadi di wilayah-wilayah pertambangan baik yang berizin maupun tidak. Muaranya adalah potensi korupsi melalui tata kelola sumber daya alam yang luar biasa jumlahnya jika dihitung menyeluruh. Belum lagi korupsi lewat birokrasi perizinan oleh mafia-mafia perizinan yang telah banyak terbukti menjerat pejabat dan mantan pejabat publik di Kalsel.
Dari semakin masifnya praktik buruk pertambangan batubara ini Walhi Kalsel menyatakan sikap dan mendesak sebagai berikut:
- Mendesak Perusahaan Tambang untuk segera memperbaiki dan memulihkan lokasi longsornya jalan negara.
- Mendesak pemerintah jangan sampai menggunakan dana rakyat untuk melakukan pemulihan kerusakan lingkungan, termasuk jalan negara yang longsor lagi akibat tambang.
- Mendesak pelaku usaha industri ekstraktif bertanggung jawab menyiapkan Sistem Peringatan Dini dan Tanggap Bencana di sekitar wilayah izinnya
- Gubernur Kalsel harus segera turun tangan dan meminta pemerintah pusat untuk segera mengevaluasi dan mengaudit seluruh perizinan industri ekstraktif dan monokultur skala besar.
- Mabes Polri dan Kapolda Kalsel harus segera melakukan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, khususnya pertambangan dan perkebunan sawit, dan kejahatan lingkungan yang menimbulkan longsornya jalan negara.
- Pemerintah harus Menghentikan izin baru, ijin yang ada saja sudah selalu bikin masalah.
- Perbaikan dan pemulihan kerusakan lingkungan termasuk sungai, drainase, jalan dan infrastruktur lainnya.
- Mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
- Membuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang pro terhadap keselamatan rakyat dan lingkungan serta mampu meminimalisir bencana ekologis.
- Negara harus segera membentuk Komisi Khusus Kejahatan Lingkungan dan Sumber Daya Alam serta membentuk Pengadilan Khusus Kejahatan Lingkungan dan Sumber daya Alam.
Narahubung:
- Kisworo Dwi Cahyono (081348551100)
- M. Jefry Raharja (081256650756)