Banjarbaru, 15 Mei 2024 – Melalui film dokumenter pendek berjudul ‘Imaji Tanah Leluhur’, Walhi dan Greenpeace ceritakan bagaimana masyakarat adat Dayak Pitap bertahan dari gempuran industri ekstraktif dengan ritus dan kearifan lokal mereka.
Film dokumenter pendek berdurasi 12 menit 26 detik ini diluncurkan di Banjarmasin, Sabtu (27/4/2024) lalu dalam kegiatan Silabus Meratus yang diselenggarakan oleh Walhi Kalsel, Greenpeace dan Bilik Bersenyawa. Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa dan berbagai komunitas lainnya.
Selain menceritakan resistensi masyarakat terhadap eksploitasi alam, film ini menggambarkan perspektif perempuan dalam komunitas masyarakat adat. Secara administratif masyarakat adat Dayak Pitap sendiri merupakan komunitas adat yang berada di lima desa yaitu Desa Dayak Pitap, Desa Kambiyain, Desa Mayanau, Desa Langkap dan Desa Ajung Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Namun secara geografis, masyarakat adat Dayak Pitap ada di kaki Pegunungan Meratus.
Itulah mengapa ancaman ekspansi industri ekstraktif terhadap Dayak Pitap tidak pernah berhenti. Dimulai dari tiga dekade lalu, Dayak Pitap telah bertahan dan melawan eksploitasi. Dari masa pembabatan hutan yang masif melalu HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Penguasaan Hutan), ancaman berganti ke sektor perkebunan monokultur, pertambangan seperti emas, biji besi dan batu bara.
Meskipun dalam penggarapan film ini ada keterbatasan waktu dan sumber, harapannya film ini tetap dapat membangun empati lebih terhadap komunitas masyarakat adat yang dipinggirkan dan terancam oleh industri ekstraktif yang semakin masif.
Rifky Muhammad sebagai sutradara film mengatakan jika frame yang ada dalam film kebanyakan berdasarkan insting penyutradaraan di lapangan dengan waktu penggalian data lapangan yang terbatas. “Beberapa data yang ada tersebut sebagian didapatkan dari Walhi Kalsel” ungkap Rifky.
Rifky juga mengatakan dalam film ini juga ia ingin menyampaikan kepada publik secara umum bahwa di Pegunungan Meratus itu bukan hanya ada sumber daya alam yang melimpah saja. Di Meratus juga terdapat manusia, masyarakat adat yang telah lama menjaga dan mengelola wilayahnya dari ancaman kerusakan. Ini yang menurut Rifky harus kita bangun kesadaran bersama.
Manajer advokasi dan kampanye Walhi Kalsel, Muhammad Jefry Raharja menambahkan bahwa sangat penting untuk mempromosikan kearifan lokal masyarakat adat Dayak Pitap karena sangat erat kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan di Kalsel. Setiap pengetahuan lokal di Dayak Pitap adalah bentuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, bahkan penopang aktivitas spiritual mereka. “Jika bentang alam Dayak Pitap rusak, bukan hanya lingkungan saja yang terancam. Namun juga ada tatanan sosial, budaya bahkan ritus yang akan terancam” tegas Jefry.
Ia menambahkan Dayak Pitap yang memiliki wilayah adat seluas 22.806 hektar tersebut juga memiliki banyak potensi di luar industri ekstraktif yang harus dikembangkan untuk menopang kemandirian ekonomi. Misalnya hasil hutan bukan kayu yang bisa dikelola baik dari penyediaan bahan baku atau produk turunannya yang bisa dikembangkan. Belum lagi potensi energi terbarukannya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang bisa kita dorong bersama menjadi pelopor dalam hal kemandirian energi skala komunitas.